Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Penguin

—untuk Malamku Ini takdir, bukan keberuntungan. Aku membuka lembaran masa lalu. Menelisik di sudut-sudut catatan, di bagian mana perasaan ini pernah tumbuh. Kutemukan waktu seperti garis zigzag yang kadang naik, membawaku pada pertemuan bersama seseorang. Kemudian garis itu turun, membentangkan lembah perpisahan. Tersisa hanya memori juga kenangan. Pernah aku semangat berangkat sekolah karena merindukan pertemuan. Seperti pemuda tanggung lainnya, aku pernah menuliskan dua buah nama dengan tanda “&” di tengah-tengahnya. Namun kau tahu, keberanianku hanya sebatas itu. Ada tunas malu yang semakin hari semakin besar tumbuh dalam diri. Dan hanya malam tempatku bercerita. Sampai akhirnya seseorang itu pergi aku juga pergi. Di tempat-tempat baru aku bertemu wajah-wajah. Sebagian mereka hadir menyapa hati, menghangatkan sesaat kemudian pergi berjalan di belakang waktu. Mulutku yang diam mematikannya perlahan, hingga ia hanya lewat. Menyisakan sisa-sisa ingatan. A

Pilihan

Dua jalan ambang pilih selalu berujung cabang sama-sama pipih berbaris orang di atas bulu tujuan tertuju tak jelas pintu replika kecil neraka hulu Terbakar di dalam tanpa satu pun wadah tuk bercerita hanya ada wajah-wajah berbayang yang hanya lukisan terpajang mendengar tapi tak mendengar Kata lembut tak pernah datang dalam dunia yang tak pernah tenang dengan cita yang terus terbang mencari perisai tuk berkata lantang aku ada untuk menang Hanya ada bisik berisik menelisik hati tuk terus bergidik gemetar kaki juga kungkungan bilik menutupi matahari yang sedang naik hingga perjuangan tak lagi punya lirik  Klaten, 19/07/2012

Berpisah Sejenak

Ramadhan adalah bulan perasaan dan ruhani, serta saat untuk menghadapkan diri kepada Allah. [Hasan al-Banna] Dalam ceramahnya menjelang bulan ramadhan, Hasan al-Banna pernah berujar, “Sejauh yang saya ingat,” kata dia kepada ribuan jamaah yang memadati kajian rutin malam selasa, “ketika bulan Ramadhan menjelang, sebagian Salafush Shalih mengucapkan selamat tinggal kepada sebagian lain sampai mereka berjumpa lagi dalam shalat 'Id.” Al-Banna menerangkan betapa para pendahulu yang shalih itu merasakan betul bahwa ramadhan adalah bulan ibadah, bulan untuk melaksanakan shiyam (puasa) dan qiyam (shalat malam). Oleh kareanya, mereka ingin menyepi dalam kekhusuan, dalam ketundukan, dalam keheningan. “Kami ingin menyendiri hanya dengan Tuhan kami.” Perputaran bulan mengantarkan kita kembali ke pintu gerbang ramadhan. Sebuah kesempatan besar di depan mata untuk merengkuh kesejukan setelah perjuangan hidup selama berbulan-bulan. Ada lonceng kecil dalam hati berbisik, ini

Langit

Perhatikan alam sebagai wakil kesempurnaan. Seorang guru pernah bercerita bahwa nyanyian kehidupan serupa langit. Ada saatnya terang benderang cerah bercahaya. Ada kalanya kelam, titutupi awan gelap. Di waktu lain, langit ditutup awan putih. Namun awan gelap tidak merubah langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apapun yang terjadi, langit tetap biru. Bergiliran dualitas kehidupan terus hinggap di diri-diri kita. Sedih-bahagia, susah-senang, lemah-kuat, sakit-sehat. Seumpama siang-malam yang terus berputar. Merujuk kepada langit, ketika bahagia datang, seumpama gumpalan awan putih melenggang di cerahnya matahari, membawa keteduhan, membawa kesejukan. Namun seperti sewaktu awan kelam datang, kesedihan juga menjadi bagian tak terelakkan. Ia pasti tetap akan datang. Mengelak dari dualitas itu, sama halnya melukis samudera tanpa gelombang. Ujian berupa gelombang akan terus berdatangan silih berganti. Terus-menerus. Akan tetapi ada satu hal yang harus k

Berpisah dan Berpelukan

You get it from your Father,It is all he had to give. Rumahku dikelilingi oleh pohon kelapa juga pisang. Ketika kecil, Bapak punya ritual unik ketika menanam pohon-pohon itu. Saat menggenggam buah kelapa kering berwarna koklat dengan sebuah pucuk tunas kecil timbul di bagian atasnya, bapak akan melambaikan tangannya kepada kami, anak-anaknya, yang segera kami sambut dengan berlarian. Bapak kemudian menggali sebuah lubang seukuran bola sepak. Sambil memegang buah kelapa, ia menyuruh kami semua naik ke atas punggungnya. Kami berebutan berpegangan di leher juga bahunya. Bapak menimbun buah kelapa sambil menggoyang-goyangkan badannya, dan menyuruh kami berdoa, “Semoga buahnya banyak dan bergelantungan seperti kalian di punggung Bapak.” Kami susah payah mengikuti kalimatnya karena harus berpegangan erat. Sambil tersenyum saat menurunkan kami satu persatu, Bapak mengatakan, “Karena kalian tidak jatuh, maka nanti, buahnya juga tidak akan gugur diterjang angin.” Setelah itu

Telepon

Dulu… Zaman telepon genggam segede bata, di sekolahku ada sebuah telepon umum. Menempel di tembok dekat pintu kantor guru-guru. Menyenangkan melihat siswa-siswi memasukkan koin, melekatkan gagang di telinga kemudian tertawa-tawa sendiri. Aku, hanya melihat dari kelas. Aku yang tinggal di asrama sekolah, membayangkan punya seseorang yang bisa aku telepon. Namun, aku tak menemukan seorang pun. Di desaku sana, hanya aliran air yang lancar. Aliran listirk apalagi telpon selalu putus di tempat yang bernama kota. Dulu… Teman-teman sekelasku adalah para pemburu nomor telepon rumah. Sebuah kebanggaan besar jika ada yang bisa mendapatkan telpon rumah seseorang yang ia taksir dari kelas lain. Seusai sekolah sepi, mereka para pemburu itu akan berdesakan di depan telpon memencet tombol-tombol dan menunggu sebuah suara di seberang sana. Kalau rame-rame, itu tandanya mereka baru saja dapat nomer baru untuk dijajaki alias pedekate . Tapi kalau sudah nongkrong sendirian dan menyu

Ketidakpastian

Tidak ada ketidakpastian, kalau kau membaca kejadian menggunakan kamus tinta Tuhan yang telah kering. Semua telah diatur—teratur. Ketidakpatian hanya ada dalam ruang-ruang perasaan manusia. Ruang dimana manusia terbatas pada pengetahuan masa depan yang diapit oleh tembok waktu dan juga jarak. Tapi memang begitulah Allah telah memutuskan, wa maa uutiitum minal ‘ilmi illa qoliil , tidaklah kamu diberi ilmu hanya sedikit. Namun jika kau perhatikan lebih jauh, ruang ketidakpastian itu, telah membuka ruang-ruang lain; doa, harapan, juga ihsan sebagai implementasi dari doa dan harap. Di ruang-ruang tadi itulah kita akan menemukan hakikat kesejatian kemanusiaan kita. Bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang hanya harus berharap, berdoa, dan berusaha. Selebihnya adalah ketawakkalan terhadap takdir. Ketika kau telah berpindah dari ruang ketidakpastian menuju ruang doa, harap dan ihsan, pada dasarnya kau sedang berpindah dari ruang galau menuju ruang ketenangan. Hingar-bingar ket

Mencoba

Semua kita tidak ada yang tahu masa depan. Toh , masa lalu yang telah kita lalui juga kadang tidak pernah betul-betul terencana. Ada tangan takdir yang punya otoritas merubah beberapa rencana yang kita tuliskan dalam tanggal, peta hidup atau juga janji-janji. Dan jadilah kita seperti sekarang ini. Di sini, saat ini. Lihat saja di cermin, satu jerawat merah kecil pun, sebenarnya tidak ada dalam rencanamu, tapi dia tetap ada. Maka Tuhan enggan melihat hambanya yang kerap kali bertanya kapan datangnya Qiyamat kepada Nabi. Karena tugas manusia, adalah untuk mencoba. You never know if you never try. Mencoba dan memperbanyak pilihan. Mengetahui karena mencoba adalah lebih baik daripada tidak tahu karena tidak mencoba. Dan bagaimana dengan ketakutan-ketakutan? Ketakutan yang muncul setelah kau mencoba adalah bentuk lain dari keseriusan. Ketetapan hati yang menjelma menjadi rasa was-was. Tentu saja kau tidak akan melihat seorang anak SMA yang berencana tidak mau lulus ujian

Romantisme Hujan

Gelap menggantung di langit. Aku berdiri bawah emperan kecil tempat biasa para ojek mangkal. Mengkerut kedinginan. Aku mendekap erat tas di dadaku. Berharap segera ada bis Jogya—Solo yang keluar dari terminal. Magrib telah pergi setengah jam yang lalu, tapi hujan dari siang belum juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia masih terus menitikkan rinmik alam musim penghujan. Rambutku sudah basah, beberapa bagian tubuh dan juga kakiku juga basah. Kecuali tas yang aku dekap. Bukan tasnya yang kutakutkan, tapi isinya. Isinya yang membuatku berdebar—dan penasaran. Setelah kaki kiriku kesemutan dan menggigil, barulah dari belokan terminal terpendar cahaya lampu bis Sedya Utama. Alhamdulillah , gumamku. Segera menerobos rintik hujan, aku naik ke dalam bis. Ada beberapa wajah yang telah duduk di deretan kursi depan dan tengah. Tapi hanya wajah hitam yang terlihat. Alam telah gelap dan Pak supir juga tidak menyalakan lampu.  Alhasil, kakiku tersandung di tangga terakhir ketika naik.  A

Kemuliaan

Selalu menyejukkan, mungkin kalimat itu bisa mewakili setiap kemuliaan. Seperti halnya perjalanan ikhtiar saya siang ini. Ah, menyejukkan, menenangkan dan bagi yang memiliki kemurnian hati akan menguapkan air mata kejernihan. Siang ini, roda bis terus saja berdenyit seolah berontak menggilas aspal. Seolah enggan berputar, mengikis kulitnya terus menerus. Aku berada di deretan belakang. Di samping seorang kakek sibuk mendekap tas bawaannya. “Ke Wates, mas?” tanyanya. Aku mencondongkan kepala, memperhatikan pertanyaannya dan kemudian menganggukkan kepala—mengiyakan. Di sebelah kiri saya, seorang pemuda yang lebih asik dengan pemandangan di luar bis. Kemudian bis berhenti. Kenek turun dan dari tangga, naiklah anak laki-laki, disusul anak perempuan; lebih besar, pastilah kakaknya pikirku. Dan menyusul kedua orang tua mereka. Subhanallah, dua-duanya buta. Seketika seorang yang duduk di deretan paling belakang memberikan tempat duduknya, menuntun sang ibu untuk duduk. Di k

Berita

Berita adalah medium yang unik. Dia bisa membawa apa saja; bahagia, sedih, kecewa, semangat bahkan juga maut. Berita hanya biasa-biasa saja tapi juga bisa luar biasa, mengubah jalan hidup seseorang—dalam hitungan detik. Sesaat setelah informasi berupa gelombang itu menyentuh gendang telinga, hidup seseorang telah berubah. Seperti Nabi Muhammad SAW yang mendapat berita dari Jibril. Atau juga seorang anak yang mendapat berita kematian ayahnya—mendadak. Tapi berita juga bisa menjadi alat manipulasi yang hebat. Kotak penyihir yang disebut TV lebih banyak menjadi gerbang keluarnya mantra-mantra manipulatif. Membawa gelombang arus besar hipnotis yang kadang melalaikan, membohongkan kebenaran, dan membenarkan kebohongan. Meninggikan kerendahan dan merendahkan ketinggian. Berita memang unik, ia bisa berupa apa saja; bisikan, ilham, gambar, juga tulisan. Tapi kadang kita tidak tahu apakah berita yang kita konsumsi itu, baik atau buruk, benar atau bohong. Seperti juga tulisan yang

Pengecut

Kepengecutan terbesar adalah ketidak jujuran kepada diri sendiri. Dan kata lain dari sikap seperti itu adalah ‘Pembohong’. Bagaimana bisa kau menyukai warna merah, tapi kau mentatto seluruh bagian tubuhmu dengan warna biru. Dan kata lain dari sikap seperti itu adalah ‘Munafik’. Terlebih lagi kalau kau gunakan kata demi kebaikan bersama, demi orang lain, demi teman, demi keluarga, hell yeah, demi agama, dan dedemit demi yang lainnya. Dan apakah kau tahu kepengecutan yang lebih besar dari itu? Adalah saat kau menggunakan orang lain sebagai tumbal dari kepengecutan kalian yang berupa kebohonan dan kemunafikan. Kau tidak lebih dari apa yang Tuhan pernah sebutkan sebagai pemakan bangkai saudaranya sendiri. 08/02/2012 *Gambar diambil dari sini

Mimpi

Impian membuatmu bersemangat. Ia seperti bahan bakar yang membuatmu terus bergerak. Pemantik yang membakarmu ketika kau redup. “Aku ingin jadi pilot,” kalimat itu sangat lumrah keluar dari mulut kita waktu masih kanak-kanak. Kita bisa menjadi apa saja, setiap sesuatu yang mencengangkan kita, membuat kita bergairah adalah impian kita. Superman, Spiderman, juga bahkan Hulk. Namun, umur mulai mengikis mimpi-mimpi kita. Semakin besar badan kita, imajinasi kita menyempit, terkungkung dalam ruangan-ruangan kelas, nilai-nilai ujian, juga angka-angka dalam raport. Tokoh-tokoh super telah kembali ke sarangnya lagi, berubah bentuk menjadi komik—tv—playstation—rokok—bola—wanita. Selingan di kala angka-angka nilai diri kita—di kertas ujian—sedang rendah. Pun ketika kita telah menjadi [dewa]sa. Pemegang kendali seutuhnya tampu perjalanan hidup kita. Kita terhenti pada label yang ditempelkan oleh orangtua, masyarakat, perusahaan, dan orang lain—di jidat kita. Setelah itu, “Aku sud

Gelisah

Gelisah entah kenapa selalu identik dengan gelap--malam--petang--bayang-bayang--kuburan. Telah dua malam mimpi itu kembali datang. Muncul dengan setting berbeda, alur berbeda tapi tetap dengan ending yang sama--putik air mata menyembul di keheningan malam, merekah menjadi isak yang tertahan. Setiap kali aku merebahkan badan dan mematikan lampu. Kelebat bayang-bayang itu selalu muncul, seperti bintang jatuh yang melewati jendela kamar, begitu cepat begitu jauh. Tapi ia menyisakan gelisah dalam relung-relung jiwa. Layaknya petang yang mulai menyelimuti bumi, pelan dan merambat menaburkan kegelapan. Aku menutup mata mengharap kegelapan yang menentramkan, tapi kegelisahan yang merambat selalu memantik ketukan-ketukan tanpa suara, menyentakku dari dan menuju gelap--terang--petang--bayang--juga kuburan. Rasa lelah telah berubah menjadi bulir-bulir keringat yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sampai akhirnya aku terjatuh juga--dalam lelap yang melelahkan. Kegelisahan telah

Pencarian

Manusia adalah para pencari. Itu adalah fitrah bawaan yang tak pernah lepas dari dirinya. Mencari dan menemukan, merupakan pekerjaan tanpa henti seorang manusia. Anugerah sekaligus kutukan untuk manusia. Dengan pencarian, manusia terus bertransformasi menjadi bentuk-bentuk yang tak terduga--dan menakjubkan. Tapi tidak jarang juga, manusia menghilang dalam pencariannya sendiri--tak pernah menemukan dirinya sendiri. Sebagai sebuah kutukan, manusia patut ber-iri hati pada makhluk-makhluk lain. Sementara manusia kebingungan dalam pencariannya, makhluk lain berpesta dalam kebebasannya--menikmati pertemuan dengan kesejatiannya. Lihatlah burung, bagaimana dia melenggangkan sayapnya, pasrah dan lepas dalam genggaman Tuhannya, mengambang dalam kesejatian diri, tunduk dalam kepasrahan yang menghamba pada satu. Ia dalam keadaan bebas sebebas-bebasnya. Satu ketundukan telah meluluhkan seluruh belenggu bumi yang mengikat tubuhnya untuk berselancar di udara. Ia bernyanyi bersama siulan angin, me