Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli 8, 2012

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Langit

Perhatikan alam sebagai wakil kesempurnaan. Seorang guru pernah bercerita bahwa nyanyian kehidupan serupa langit. Ada saatnya terang benderang cerah bercahaya. Ada kalanya kelam, titutupi awan gelap. Di waktu lain, langit ditutup awan putih. Namun awan gelap tidak merubah langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apapun yang terjadi, langit tetap biru. Bergiliran dualitas kehidupan terus hinggap di diri-diri kita. Sedih-bahagia, susah-senang, lemah-kuat, sakit-sehat. Seumpama siang-malam yang terus berputar. Merujuk kepada langit, ketika bahagia datang, seumpama gumpalan awan putih melenggang di cerahnya matahari, membawa keteduhan, membawa kesejukan. Namun seperti sewaktu awan kelam datang, kesedihan juga menjadi bagian tak terelakkan. Ia pasti tetap akan datang. Mengelak dari dualitas itu, sama halnya melukis samudera tanpa gelombang. Ujian berupa gelombang akan terus berdatangan silih berganti. Terus-menerus. Akan tetapi ada satu hal yang harus k

Berpisah dan Berpelukan

You get it from your Father,It is all he had to give. Rumahku dikelilingi oleh pohon kelapa juga pisang. Ketika kecil, Bapak punya ritual unik ketika menanam pohon-pohon itu. Saat menggenggam buah kelapa kering berwarna koklat dengan sebuah pucuk tunas kecil timbul di bagian atasnya, bapak akan melambaikan tangannya kepada kami, anak-anaknya, yang segera kami sambut dengan berlarian. Bapak kemudian menggali sebuah lubang seukuran bola sepak. Sambil memegang buah kelapa, ia menyuruh kami semua naik ke atas punggungnya. Kami berebutan berpegangan di leher juga bahunya. Bapak menimbun buah kelapa sambil menggoyang-goyangkan badannya, dan menyuruh kami berdoa, “Semoga buahnya banyak dan bergelantungan seperti kalian di punggung Bapak.” Kami susah payah mengikuti kalimatnya karena harus berpegangan erat. Sambil tersenyum saat menurunkan kami satu persatu, Bapak mengatakan, “Karena kalian tidak jatuh, maka nanti, buahnya juga tidak akan gugur diterjang angin.” Setelah itu

Telepon

Dulu… Zaman telepon genggam segede bata, di sekolahku ada sebuah telepon umum. Menempel di tembok dekat pintu kantor guru-guru. Menyenangkan melihat siswa-siswi memasukkan koin, melekatkan gagang di telinga kemudian tertawa-tawa sendiri. Aku, hanya melihat dari kelas. Aku yang tinggal di asrama sekolah, membayangkan punya seseorang yang bisa aku telepon. Namun, aku tak menemukan seorang pun. Di desaku sana, hanya aliran air yang lancar. Aliran listirk apalagi telpon selalu putus di tempat yang bernama kota. Dulu… Teman-teman sekelasku adalah para pemburu nomor telepon rumah. Sebuah kebanggaan besar jika ada yang bisa mendapatkan telpon rumah seseorang yang ia taksir dari kelas lain. Seusai sekolah sepi, mereka para pemburu itu akan berdesakan di depan telpon memencet tombol-tombol dan menunggu sebuah suara di seberang sana. Kalau rame-rame, itu tandanya mereka baru saja dapat nomer baru untuk dijajaki alias pedekate . Tapi kalau sudah nongkrong sendirian dan menyu