Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari 12, 2012

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Ketidakpastian

Tidak ada ketidakpastian, kalau kau membaca kejadian menggunakan kamus tinta Tuhan yang telah kering. Semua telah diatur—teratur. Ketidakpatian hanya ada dalam ruang-ruang perasaan manusia. Ruang dimana manusia terbatas pada pengetahuan masa depan yang diapit oleh tembok waktu dan juga jarak. Tapi memang begitulah Allah telah memutuskan, wa maa uutiitum minal ‘ilmi illa qoliil , tidaklah kamu diberi ilmu hanya sedikit. Namun jika kau perhatikan lebih jauh, ruang ketidakpastian itu, telah membuka ruang-ruang lain; doa, harapan, juga ihsan sebagai implementasi dari doa dan harap. Di ruang-ruang tadi itulah kita akan menemukan hakikat kesejatian kemanusiaan kita. Bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang hanya harus berharap, berdoa, dan berusaha. Selebihnya adalah ketawakkalan terhadap takdir. Ketika kau telah berpindah dari ruang ketidakpastian menuju ruang doa, harap dan ihsan, pada dasarnya kau sedang berpindah dari ruang galau menuju ruang ketenangan. Hingar-bingar ket

Mencoba

Semua kita tidak ada yang tahu masa depan. Toh , masa lalu yang telah kita lalui juga kadang tidak pernah betul-betul terencana. Ada tangan takdir yang punya otoritas merubah beberapa rencana yang kita tuliskan dalam tanggal, peta hidup atau juga janji-janji. Dan jadilah kita seperti sekarang ini. Di sini, saat ini. Lihat saja di cermin, satu jerawat merah kecil pun, sebenarnya tidak ada dalam rencanamu, tapi dia tetap ada. Maka Tuhan enggan melihat hambanya yang kerap kali bertanya kapan datangnya Qiyamat kepada Nabi. Karena tugas manusia, adalah untuk mencoba. You never know if you never try. Mencoba dan memperbanyak pilihan. Mengetahui karena mencoba adalah lebih baik daripada tidak tahu karena tidak mencoba. Dan bagaimana dengan ketakutan-ketakutan? Ketakutan yang muncul setelah kau mencoba adalah bentuk lain dari keseriusan. Ketetapan hati yang menjelma menjadi rasa was-was. Tentu saja kau tidak akan melihat seorang anak SMA yang berencana tidak mau lulus ujian

Romantisme Hujan

Gelap menggantung di langit. Aku berdiri bawah emperan kecil tempat biasa para ojek mangkal. Mengkerut kedinginan. Aku mendekap erat tas di dadaku. Berharap segera ada bis Jogya—Solo yang keluar dari terminal. Magrib telah pergi setengah jam yang lalu, tapi hujan dari siang belum juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia masih terus menitikkan rinmik alam musim penghujan. Rambutku sudah basah, beberapa bagian tubuh dan juga kakiku juga basah. Kecuali tas yang aku dekap. Bukan tasnya yang kutakutkan, tapi isinya. Isinya yang membuatku berdebar—dan penasaran. Setelah kaki kiriku kesemutan dan menggigil, barulah dari belokan terminal terpendar cahaya lampu bis Sedya Utama. Alhamdulillah , gumamku. Segera menerobos rintik hujan, aku naik ke dalam bis. Ada beberapa wajah yang telah duduk di deretan kursi depan dan tengah. Tapi hanya wajah hitam yang terlihat. Alam telah gelap dan Pak supir juga tidak menyalakan lampu.  Alhasil, kakiku tersandung di tangga terakhir ketika naik.  A

Kemuliaan

Selalu menyejukkan, mungkin kalimat itu bisa mewakili setiap kemuliaan. Seperti halnya perjalanan ikhtiar saya siang ini. Ah, menyejukkan, menenangkan dan bagi yang memiliki kemurnian hati akan menguapkan air mata kejernihan. Siang ini, roda bis terus saja berdenyit seolah berontak menggilas aspal. Seolah enggan berputar, mengikis kulitnya terus menerus. Aku berada di deretan belakang. Di samping seorang kakek sibuk mendekap tas bawaannya. “Ke Wates, mas?” tanyanya. Aku mencondongkan kepala, memperhatikan pertanyaannya dan kemudian menganggukkan kepala—mengiyakan. Di sebelah kiri saya, seorang pemuda yang lebih asik dengan pemandangan di luar bis. Kemudian bis berhenti. Kenek turun dan dari tangga, naiklah anak laki-laki, disusul anak perempuan; lebih besar, pastilah kakaknya pikirku. Dan menyusul kedua orang tua mereka. Subhanallah, dua-duanya buta. Seketika seorang yang duduk di deretan paling belakang memberikan tempat duduknya, menuntun sang ibu untuk duduk. Di k