Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin; "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!" Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J. Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J. Terus kenapa 5 tahun? "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu. Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini, Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana. Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka
Perhatikan alam sebagai wakil kesempurnaan.
Seorang guru pernah bercerita
bahwa nyanyian kehidupan serupa langit. Ada saatnya terang benderang cerah
bercahaya. Ada kalanya kelam, titutupi awan gelap. Di waktu lain, langit
ditutup awan putih. Namun awan gelap tidak merubah langit jadi hitam. Awan putih
tak membuat langit jadi putih. Apapun yang terjadi, langit tetap biru.
Bergiliran dualitas kehidupan terus
hinggap di diri-diri kita. Sedih-bahagia, susah-senang, lemah-kuat, sakit-sehat.
Seumpama siang-malam yang terus berputar. Merujuk kepada langit, ketika bahagia
datang, seumpama gumpalan awan putih melenggang di cerahnya matahari, membawa
keteduhan, membawa kesejukan. Namun seperti sewaktu awan kelam datang,
kesedihan juga menjadi bagian tak terelakkan. Ia pasti tetap akan datang.
Mengelak dari
dualitas itu, sama halnya melukis samudera tanpa gelombang. Ujian berupa
gelombang akan terus berdatangan silih berganti. Terus-menerus. Akan tetapi ada
satu hal yang harus kita yakini, bahwa pada akhirnya, semua gelombang menunduk
rendah hati ketika mencium bibir pantai. Semua dualitas yang kita hadapi, entah
dalam keadaan tinggi atau rendang, miskin atau kaya, bahagia atau sedih, kita
harus tetap pergi pulang menuju bibir pantai untuk bersujud sejenak. Merebahkan
ego serendah-rendahnya, menundukkan kepala dan mencium kesejatian kita. Setelah
itu kita kembali ke samudera untuk kembali bergelombang.
Warna kehidupan boleh
berubah-ubah, namun dengat tidak meninggalkan sujud sebagai pemandu,
warna-warni itu akan membentuk komposisi indah. Semoga kita akan sampai pada
kesimpulan yang sama seperti seorang gadis kecil yang berkata kepada bapaknya, “There
must be someone who painting the rainbow daddy!” pasti ada yang melukis
pelangi, Ayah!.
Semoga kita bisa seperti langit, apapun yang terjadi (putih-hitam awan), ia tetap biru. Dualitas macam apapun yang bergelombang dalam diri kita, kita tetap tercerahkan dengan panduan dari langit. Maka
dengan hati yang hidup kita bisa membacakan sebuah ayat langit, "Segala
puji bagi Allah, dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya,
maka kamu akan mengetahuinya…" (QS. An-Naml: 93)
Klaten, 13/07/2012
Komentar
Posting Komentar