Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Memori Tujuh Tahun

 Semalam, aku kembali melihatmu. Saat tujuh tahun lalu. Waktu menarikku ke masa itu. Ketika detik merambat begitu lambat, berpendar di sekeliling kita mengatakan satu hal, bahwa kita tidak lagi di pusaran waktu yang sama. Aku tahu, seketika kita tiba-tiba diam. Diam yang berbeda. Aku diam karena merana dan berharap kau kembali. Tapi, kau diam melampaui semua kehendak berbicara. Karena Tangan Tuhan yang sedang berbicara. Aku kembali kembali ke masa itu. Memasuki pintu tujuh tahun lalu. Kutemukan engkau terjaga dengan mata terbuka, tetapi kosong. Aku mendekat dengan mata yang tak lagi bisa membendung. Mata kita bertemu, begitu dekat. Bahkan sangat dekat. Namun dalam kedekatan itu, telah terbentang jarak yang begitu jauh, sehingga kau tidak lagi bisa memandangku. Dan aku, hanya bisa mengamatimu—dari kejauhan. Tetes kesedihan menetes bersama kenangan tentangmu. Membahana ketika bibirku menyentuh keningmu. Kecupan panjang berisi segala kehangatan yang telah engkau beri. Rasanya aku

Mencintai Diam-diam

Lama, Aku terpatung memandangimu—dalam kapasitasku. Kau, adalah lukisan yang begitu indah sedangkan aku, seorang gembel yang memandangimu—hanya mampu dari luar jendela. Kau tepat berada di dekatku. Tapi semakin lama aku mengagumimu, semakin jauh jarak itu merenggangkan kamu dan aku. Dalam kapasitasku, aku tersenyum dari luar jendela. Melihatmu dikagumi banyak orang. Karena kau memang pantas dalam kapasitasmu. Setiap detil tubuhmu menginterpretasikan keindahan, juga ketinggian. Aku, dalam detil aku dekil. Bahkan juga kerdil. Aku hanya tersenyum sendiri dari luar jendela. Memandangimu dalam nadir. Mungkin, senyum yang menyindir—ketir. Memang begitulah kapasitasku. Mau diapakan lagi. Tidak ada. Aku masih berdiri dengan mata yang tak lepas darimu. Aku berpikir, mungkin beginilah mencintai diam-diam—dari luar jendela. Pada akhirnya harus menerima. Semua kapasitas. Tidak berontak mendobrak kaca, tapi berbalik dan tersenyum. Menerima. Aku harus pergi. Tapi tubuhku tak berbalik. Ak

Skenario Peran

Satu peranan dalam panggung sandiwara kehidupan seharusnya given , diberikan, bukan diminta. Itulah yang menunjukkan fungsi hakiki seorang sutradara, memberikan peran. Pemain bertugas memainkan lakon. Kalau sang pemeran bersikukuh bertungkus-lumus menginginkan satu peran tertentu, maka panggung lakon akan kacau tak selesai. Pemain yang meminta peran dan mendikte sutradara, adalah pemain yang kurang ajar. Berulah dan mengacaukan pemeran-pemeran lainnya, hingga pementasan tak lagi menjadi sebuah karya indah melainkan kekacauan egoisme. Pencaian satu peranan yang diberikan oleh sutradara kehidupan dunia nyata, memang tidak serta merta seperti dalam lakon sandiwara. Bedanya, naskah dalam lakon sandiwara diberikan di awal namun dalam panggung kehidupan, naskahnya sudah tertulis namun tidak secara gamblang bisa kita baca. Sifatnya given , tapi kita diminta untuk melakukan pencarian. Uniknya lagi, sang sutradara hanya menetapkan rambu-rambu dalam adegan, kita diminta untuk me

Satu Peranan

Pencarian dalam kosa kata kehidupan adalah kata yang tidak pernah selesai untuk dirangkai. Ketika satu waktu kita mendapatkan sebuah kalimat yang betul-betul bagus, di lain hari, kalimat itu menjadi biasa-biasa saja, tak berkesan lagi seperti pertama kali ia hinggap di lidah kita. Ia berubah menjadi hambar, seperti permen di ujung habisnya; hanya tinggal sisa ampas tak berasa. Tinggal telan dan hilang. Tapi memang begilah manusia berkalung kehidupan. Mencari dan terus mencari. Tak selesai dalam satu titik. Selalu muncul tanda koma, padahal sebelumnya itu adalah sebuah titik pada awalnya. Yah, selama udara hilir mudik melalui hidung dan paru-paru, selama itu pula pemahaman dan pengalaman baru mengubah lagi susunan kalimat paten yang terpatri sebelumnya. Berubah dan terkikis dengan waktu. Saya jadi teringat syair lagu ciptaan Taufik Ismail yang dipopulerkan oleh Nike Ardila, sebalum kita lanjutkan pembicaraan kita, maukah engkau menyanyi bersamaku? Dunia ini Panggung Sa

simpul gelap

Pernahkah engkau tidur tengkurap, dada beralaskan bantal dan kepalamu miring ke kiri. Dalam keheningan pergantian tanggal, matamu terus saja terjaga, bertemankan dengan segala keheningan yang tak juga membuatmu tenang. Detik jam seperti krek pohon patah yang berulang dan terus berulang, tak pernah mau berhenti. Bahkan, detak jantungmu sendiri serperti dentuman yang terus menggedor gendang telingamu. Menyentak dan mengejutkan urat syarafmu ketika ia mulai lelah. Seketika itu matamu kembali menganga, memandang gelap yang tak pernah tidur. Mungkin, itu yang kau namakan gelisah. Banyak cerita yang bilang kalau bukan badanmu yang lelah tapi jiwamu yang sedang galau. Hingga itu tak bisa memanipulasi malam, tetap saja ia resah dan tetap terjaga tak peduli apakah jangkrik sudah serak melengkingkan suara, atau malam semakin dingin mengendus subuh. Saat itulah kepalamu bermain-main dengan simpul-simpulnya. Simpul yang kadang tak mengenal ujung ataupun juga pangkal, hanyalah gulungan yang s

Lamaran Kematian

Tak tahu apa kata sifat yang tepat untuk menggambarkannya. Seperti seorang anak kecil yang menemukan tempat persembunyian baru; persembunyian yang tak seorang pun tahu. Persembunyian berupa dunia yang dipahami semua orang, tapi mereka tak merasakannya. Persembunyian yang letaknya di tempat sederhana, namun hanya segelintir orang yang bisa memanggilnya. Mirip ruang latihan sihir Harry Potter dan laskar Dumbledor-nya. Ah, semuanya adalah skenario Allah. Dan tidakkah kita tahu, bahwa skenario Allah adalah skenario terbaik. Hanya saja, aku sedang berusaha mencari hikmah dari sebuah ruang baru, yang Allah bukakan rasa dan aromanya—untukku. Tidak mudah mempercayainya—maksudku meyakininya. Aku percaya bahwa itu ada, tapi sebenarnya—aku bisa jadi—belum yakin. Tapi Allah selalu punya cara, ketika ia menginginkan kita tahu dengan yakin. Yah, lewat kejadian-kejadian, lewat perantara teman, lewat perantara bukti yang bisa dirasakan. Allah... betapa kecil hamba di hadap-Mu. Terimakasih Alla

Kutemukan al-Quranku

Tulisan ini adalah sebentuk kesyukuranku. Mungkin awal dari jawaban pertanyaan kegelisahanku yang telah lama tak ku dengar lagi gelisahnya. Syukurku pada-Nya yang telah kembali mengingatkanku. Memberi celah untukku kembali gelisah—dengan kebaikan dan perbaikan. Lagi-lagi lewat sebuah buku. Semoga kau—yang berbaik hati membaca tulisan ini—tidak bosan. Kegelisahanku ini tentang al-Quran. Bukan karena al-Quran akan kehilangan kemuliaan, keagungan dan kesuciannya. Tapi, lebih pada diriku, ya diriku, yang tak pernah bisa sampai kepada kemuliaannya, diriku yang tak bisa mendaki keagungannya, diriku yang tak mengerti cara berbesih untuk mengecap kesuciannya. Pastor Terry Jones mengajak membakar al-Quran, aku tak bergeming. Bukan karena aku yakin bahwa al-Quran sudah ada yang menjaga—tapi lebih karena mungkin aku yang tak peduli. Aku membaca kisah-kisah Para Sahabat, bagaimana Ustman mengkhatamkan al-Quran dalam tujuh hari, aku mencoba melakukannya. Hanya berhasil dua minggu—itu pun di bu