Langsung ke konten utama

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Jodoh Itu Menu Makan

Siang itu mata matahari melebar perlahan, seusai hujan yang mengguyur kota Surakarta. Aku mengambil tempat duduk di beranda musholla yang letaknya di sebelah timur kos. Aku mulai membaca sebuah novel—karangan seorang feminis kelahiran Fez, Maroko, berjudul Perempuan-perempuan Haremku—saat seorang sahabat mendekat, kemudian duduk di sampingku.

“Tempat nongkrong yang hebat,” katanya tersenyum kemudian menoleh ke seberang jalan, ada nada sindiran halus di dalam kata-katanya. Aku hanya tersenyum, paham bahwa yang ia maksud adalah bangunan dua lantai bercat hijau, ada dua orang gadis sedang berdiri di sana. Yah, itu adalah kos putri, dan posisi dudukku tidak memungkinkan untuk mengajukan pembelaan.

“Belum pernah pacaran?” sekarang dia bertanya dan tak ada kata yang bisa aku ucapkan kecuali ‘belum’ dan seulas senyuman. Kemudian dia bercerita tentang petualangan gonta-ganti pacarnya yang berakhir dengan pertunangannya selama dua tahun ini. Aku melirik cincin yang melingkar manis di jarinya.

Katanya, “masing-masing orang beda prinsip, ya?” hah, sekarang dia memberikan sendiri jawaban atas gelontoran tanya dan cerita yang telah ia lepaskan—sedari tadi.

Dalam senyum aku berkesimpulan, jodoh itu seperti menu makan. Ia adalah juga merupakan rizki Allah. Ia akan datang, tapi sebenarnya tak perlu terlalu dipikirkan. Aku memilih untuk tidak mencemaskan menu makan apa yang akan Allah berikan dua hari lagi. Entah ikan, ayam, sapi, atau hanya sayur-sayuran saja. Toh semuanya adalah rizki yang harus disyukuri. Dan mencemaskannya, aku rasa tidak untuk saat ini. Aku akan memilihnya ketika sudah terhidang. Tapi jangan salah, jangan kira aku tidak mengusahakannya. Aku mencari uang, aku mencari penghasilan untuk membeli menu makanan. Begitu pula dengan jodoh, aku sedang menyiapkan diri—untuk segera membeli menu makanan itu, tapi apakah ikan atau ayam? Aku akan menentukannya besok ketika waktunya makan datang.

Entah sehari, dua bulan, atau setahun lagi…


Ah, kau bercerita tentang menu makan yang akan kau santap dua tahun lagi. Kurasa itu terlalu berlebihan sahabat. Bagaimana kalau selera makanmu berubah esok, atau kau sudah merasa bosan dengan menu itu? atau barangkali Allah mentakdirkan untukmu menu makanan yang lainnya? Kau terlalu cepat mencemaskan yang seharusnya kau cemaskan besok—sahabat. Kau terlalu cepat menentukan—mungkin kalimat itu lebih tepat—padahal kau belum siap makan. Hehe

Sahabat, aku ingin mengatakan itu padamu, namun aku masih tersenyum dan kau beranjak pergi. “Mau cari makan,” katamu.

Sebenarnya satu lagi yang ingin kusampaikan, seorang teman yang tidak pernah pacaran sepertiku, hari minggu kemarin berta’aruf dengan wanita yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, dan kau tahu, tiga bulan lagi—kalau Allah menentukan bahwa itu adalah jodohnya—maka hari bahagia pernikahan itu akan berlangsung, lalu bagaimana denganmu yang sudah dua tahun bertunangan? Kapan kau akan menikah?... karena aku takut menanyakannya, jadi aku tulis saja di blog (page) ini. Hihihi…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Framework Bisnis

  Selesai acara Gadaipreuner Lombok 2024 kemarin, saya sambil nyetirin Mas J sempat ngungkapin;  "Saya yang ngikutin Mas J dari 2019 pun, baru benar-benar memahami pentingnya mengikuti satu framework di tahun 2024!"  Butuh waktu 5 tahun bagi saya untuk benar-benar secara 'kaffah' mengikuti mazhab formula (framework bisnis pemula) yang digagas Mas J.  Saya kasih tanda petik pada kata kaffah, bukan berarti saya setengah-setengah mengikuti Formula, saya bahkan tidak pernah punya mentor bisnis lain selain Mas J.  Terus kenapa 5 tahun?  "The teacher will appear when the student is ready." kata Mas J ngutip Tsung Zu.  Karena memang sayanya yang goblok, lama sekali baru paham. hehehe... Tapi ilustrasinya gini,  Saya mulai bisnis dari modal nekat aja, gak ngerti mau kemana, gak ngerti harus belajar dari mana.  Di masa bertahun-tahun itu, saya seperti berada lorong gelap labirin dengan percabangan jalan yang luar biasa banyak. Di setiap belokan banyak sekali jebaka

Penguin

—untuk Malamku Ini takdir, bukan keberuntungan. Aku membuka lembaran masa lalu. Menelisik di sudut-sudut catatan, di bagian mana perasaan ini pernah tumbuh. Kutemukan waktu seperti garis zigzag yang kadang naik, membawaku pada pertemuan bersama seseorang. Kemudian garis itu turun, membentangkan lembah perpisahan. Tersisa hanya memori juga kenangan. Pernah aku semangat berangkat sekolah karena merindukan pertemuan. Seperti pemuda tanggung lainnya, aku pernah menuliskan dua buah nama dengan tanda “&” di tengah-tengahnya. Namun kau tahu, keberanianku hanya sebatas itu. Ada tunas malu yang semakin hari semakin besar tumbuh dalam diri. Dan hanya malam tempatku bercerita. Sampai akhirnya seseorang itu pergi aku juga pergi. Di tempat-tempat baru aku bertemu wajah-wajah. Sebagian mereka hadir menyapa hati, menghangatkan sesaat kemudian pergi berjalan di belakang waktu. Mulutku yang diam mematikannya perlahan, hingga ia hanya lewat. Menyisakan sisa-sisa ingatan. A

Langit

Perhatikan alam sebagai wakil kesempurnaan. Seorang guru pernah bercerita bahwa nyanyian kehidupan serupa langit. Ada saatnya terang benderang cerah bercahaya. Ada kalanya kelam, titutupi awan gelap. Di waktu lain, langit ditutup awan putih. Namun awan gelap tidak merubah langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apapun yang terjadi, langit tetap biru. Bergiliran dualitas kehidupan terus hinggap di diri-diri kita. Sedih-bahagia, susah-senang, lemah-kuat, sakit-sehat. Seumpama siang-malam yang terus berputar. Merujuk kepada langit, ketika bahagia datang, seumpama gumpalan awan putih melenggang di cerahnya matahari, membawa keteduhan, membawa kesejukan. Namun seperti sewaktu awan kelam datang, kesedihan juga menjadi bagian tak terelakkan. Ia pasti tetap akan datang. Mengelak dari dualitas itu, sama halnya melukis samudera tanpa gelombang. Ujian berupa gelombang akan terus berdatangan silih berganti. Terus-menerus. Akan tetapi ada satu hal yang harus k